Minggu, 20 Januari 2008

Sebuah Catatan Ringan bagi Orang Tua

"Anak-anak adalah sumber alam yang paling berbahagia."

(Herbert Hoover)

"Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga," kata sebuah peribahasa. Kita, para orang tua, tentu paham benar arti peribahasa tersebut. Perilaku anak berasal dari orang tuanya. Baik orang tua, baik pula anaknya. Buruk orang tua, buruk pula anaknya.

Dengan indah, peribahasa itu mengumpamakan orang tua sebagai atap, bagian paling atas dari rumah. Posisi yang memberikan perlindungan kepada seluruh anggota keluarga. Atap jugalah yang kemudian meneteskan air ke pelimbahan, yakni anak-anak kita. Dan, air adalah karakter yang diwariskan kepada anak-anak, meluncur deras sesuai sunnatullah dari atap menuju pelimbahan.

Ya, disadari atau tidak, tingkah laku dan kebiasaan kita, para orang tua, sebenarnya menjadi cerminan bagi anak-anak di rumah. Memang benar ada karakter yang diwariskan secara genetis kepada anak-anak, seperti yang diuraikan berbab-bab oleh para ahli biologi. Tetapi, sebenarnya jauh lebih banyak karakter yang diperoleh anak-anak dari hasil didikan kita.

Anak-anak belajar dari orang tua mereka dengan cara mendengarkan, mengamati, dan memikirkan tingkah laku orang tua. Kebiasaan ibunya membuatkan secangkir kopi bagi ayahnya, kebiasaan ayahnya berpamitan kepada ibunya pada saat berangkat ke tempat kerja, kebiasaan mereka berdua mencurahkan kasih sayang pada mereka, anak-anaknya, menjadi pelajaran-pelajaran yang lebih berkesan ketimbang duduk mendengarkan ceramah berjam-jam. Bahkan, kebiasaan "sepele" seperti jam berapa menyalakan televisi dan acara apa yang biasa kita saksikan, seluruhnya terekam baik dalam ingatan anak-anak.

Anak-anak adalah cermin bagi orang tua. Bagaimana orang tuanya, begitulah anaknya. Like father, like sons. Saat kita tatap matanya, amati bentuk hidungnya, cara berjalannya, dan gaya bicaranya, kita akan temukan diri kita pada anak-anak. Maka, bila kita tidak ingin dipermalukan di depan orang lain oleh tingkah polah anak-anak, berarti kita pun jangan berbuat hal yang memalukan di depan anak-anak kita sendiri.

Dorothy Law Nolte menuliskan sebuah puisi indah yang menceritakan hubungan pendidikan orang tua dengan pembentukan karakter anak-anak. Sengaja kami cuplikan sebagai bahan renungan kita bersama.

Anak-anak Belajar dari Kehidupannya

Jika anak dibesarkan dengan celaan,

ia belajar memaki.

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,

ia belajar berkelahi.

JIka anak dibesarkan dengan cemoohan,

ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,

ia belajar menyesali diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi,

ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan dorongan,

ia belajar percaya diri.

Jika anak dibesarkan dengan pujian,

ia belajar menghargai.

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan,

ia belajar keadilan.

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,

ia belajar menaruh kepercayaan.

Jika anak dibesarkan dengan dukungan,

ia belajar menyenangi dirinya.

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,

ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Bila anak tumbuh menjadi liar, keras, pendendam, dan tidak punya sikap penyayang, tentu tidak muncul begitu saja. Kitalah para orang tua yang merekayasa semuanya.

Tidak ada "horor" yang lebih menakutkan bagi anak-anak selain kehilangan kasih sayang. James Coleman, dalam Abnormal Psychology and Modern Life, menyebut kekurangan kasih sayang sebagai communicable disease "penyakit menular". Karena itu, Islam sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil 'alamin mewajibkan orang tua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya. "Orang yang paling baik di antara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya," kata Rasulullah SAW. Bahkan, Allah SWT berfirman,

"Bertakwalah kamu kepada Allah tempat kamu saling memohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga." (QS. An-Nisaa: 1)

Tidak ada tempat yang lebih aman bagi seorang anak selain di pelukan orang tuanya. Karena, anak-anak senantiasa membutuhkan kekuatan untuk bersandar, dada untuk menangis, dan contoh untuk belajar. Bila kita memberikan semua itu pada mereka, maka lebih dari sekadar perwujudan kasih sayang, tapi bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Ada sebuah riwayat menarik mengenai hal itu. Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita miskin datang menemui Aisyah r.a.. Aisyah berkata, "Ia membawa dua orang anak wanita. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, wanita itu tidak makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku wanita itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,

"Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbaik hati kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka." (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)

Selain itu, anak-anak juga memiliki hak untuk mendapatkan harta dan pendidikan. Tanpa keduanya, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang lemah.

Allah SWT berfirman,

"Hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah (iman, ilmu, dan amal), yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (QS. An-Nisaa: 9)

Bukanlah orang tua yang baik jika mereka meninggalkan anak-anak mereka dalam keadaan lemah iman, ilmu, dan harta. Anak-anak membutuhkan semuanya.

Suatu ketika, Luqmanul Hakim bercakap-cakap dengan anaknya,

"Wahai ayah, apa yang terbaik bagi manusia?"

"Agama," jawab Luqman.

"Kalau dua?"

"Agama dan harta."

"Kalau tiga?"

"Agama, harta, dan rasa malu."

"Bila empat?"

"Agama, harta, rasa malu, dan akhlak yang mulia."

"Jika lima?"

"Agama, harta, rasa malu, akhlak yang mulia, dan dermawan."

Anaknya bertanya lagi, "Jika enam?"

Luqman menjawab, "Anakku, jika yang lima itu berkumpul pada diri seorang hamba, dia adalah orang yang bertakwa. Allah akan menolong orang yang menjauhi setan."

Soundtrack Keluarga Cemara menyebutkan bahwa keluarga memang hal yang terindah. Keluarga adalah harta yang paling berharga, istana yang paling indah, puisi yang paling bermakna, dan mutiara tiada tara. Karena anak setara dengan mutiara, tegakah kita membenamkannya di kubangan lumpur dunia? Lagipula, anak yang saleh adalah satu dari tiga perkara yang dapat terus-menerus mengalirkan pahala kepada kita. Rasulullah SAW bersabda,

"Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya." (HR. Muslim)

Tidak ada komentar: