Minggu, 20 Januari 2008

Kita dan Anak-anak Palestina

Mohammad ad-Durra, bocah Palestina berusia 12 tahun, harus meregang nyawa ditembus peluru serdadu Yahudi Israel pada 30 September 2000 lalu saat terjadi bentrokan berdarah antara polisi Israel dan warga muslim Palestina di Netzarim, Jalur Gaza. Kalo kamu rajin baca berita, pasti bisa mendapatkan foto "eksklusif" yang diabadikan oleh dua wartawan Palestina yang bekerja untuk TV Prancis. Foto tersebut seolah "berbicara" dan menjelaskan bagaimana biadabnya serdadu Israel ketika membantai Mohammad ad-Durra yang berada dalam pelukan ayahnya.

Mohammad ad-Durra dan puluhan remaja seusianya harus rela kehilangan masa depan. Berjuta impian yang sudah dirajut harus punah dalam sekejap. Beribu harapan sirna dalam hitungan detik. Ya, itu adalah kenyataan yang memang pahit dan getir. Anakku, ini akan terus terjadi dan bakal terulang bila umat Islam cuma diam atau hanya mengutuk, tapi minus tindakan nyata. Jelas, itu akan membuat orang-orang Israel besar kepala dan akan merasa enteng melenyapkan nyawa orang-orang Palestina.

Republika melaporkan, sampai akhir Oktober 2000 sudah 300-an orang lebih yang tewas dan sekitar 1.000 lainnya luka-luka. Kamu akui atau tidak, mereka adalah saudara-saudara kita. Saudara seiman dan seakidah. Masihkah kita tidak peduli dengan nasib sesama muslimin?

Gagahnya Anak Palestina

Tidak kurang dari 300 anak Palestina berusia antara 5 hingga 8 tahun berkumpul di kantor Komite Palang Merah Internasional di Tyre, Lebanon Selatan. Mereka duduk di halaman itu sambil membawa sejumlah poster dan sepanduk kemarahan. Di antara spanduk itu bertuliskan, "Kami semua adalah saudara syuhada Mohammad ad-Durra." Lalu, dalam spanduk lain berbunyi, "Israel telah membantai anak-anak Palestina." (Republika, 5/10/2000).

Sementara, sebagian bocah lainnya yang berasal dari tiga tempat kamp pengungsi di Tyre itu membawa sejumlah plakat yang bisa menggelorakan semangatnya, "Berjuang dan angkat senjata, satu-satu jalan untuk membebaskan tanah Palestina." "Palestina bertanggung jawab terhadap semua yang ada pada kami," bunyi lainnya.

Anakku, dua hal yang bisa menganggap rintangan sebagai tantangan adalah semangat dan keberanian. Tentu keberanian yang berhasil dimunculkan dari akidah yang benar. Akidah Islam yang kuat dan bersih. Keberanian itu sekarang tumbuh pada anak-anak Palestina.

"Saya ingin membunuh orang-orang Israel seperti mereka membunuh saudara kami Mohammad ad-Durra," kata Mohammad Natour, 14 tahun. Heroik memang. Rekannya yang lain, Ihab al-Sadid (12 tahun), mengaku sangat kesal dengan aksi brutal tentara Israel yang menembaki anak-anak Palestina. Ia mengatakan, "Mereka membunuh anak-anak. Sebab, mereka takut kalau nanti besar, kami akan melawan mereka."

Tentu pikiran seperti itu nggak muncul begitu saja, tapi melalui proses. Siapa tahu, anak-anak dididik oleh orang tua mereka untuk menjadi pejuang Islam yang gagah berani. Masih nggak percaya? Coba kamu simak pernyataan Ridha Saleh, anak berumur 13 tahun, dengan mengenakan seragam militer dan meminta wartawan foto untuk mengambil gambarnya, ia mengatakan, "Saya juga ingin mati syahid dan hanya ingin mati di sana."

Palestina Tanah Kita

Palestina memang telah lama menjadi bagian tanah air kaum muslimin. Bahkan, Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat pertama sebelum dialihkan ke Ka'bah. Status Palestina sebagai milik umat Islam semakin kokoh melalui perjanjian yang dibuat Amirul Mukminin Umar ibnul-Khaththab dengan orang-orang Kristen Palestina. Saat itu, Khalifah Umar membuat perjanjian yang terkenal dengan nama al-Ihdat al-'Umariyyah 'perjanjian Umar', yang berbunyi, ".... atas nama Islam dan kaum muslimin.... Tidak boleh seorang Yahudi pun tinggal bersama kaum muslimin di Baitul Maqdis." (Ibnu Jarir ath-Thabrani, Tarikhul Umam wal-Muluk, pada judul "Iftitah Baitul Maqdis" 'Penaklukan Baitul Maqdis').

Setelah Khilafah Islamiyyah 'pemerintahan Islam' runtuh, orang-orang Yahudi seperti mendapat angin untuk kembali mendapatkan tanah Palestina. Dengan dukungan Inggris, Amerika, dan PBB, mereka mendirikan negara Israel Raya.

Bagaimana dengan Kita?

Kita dan anak-anak Palestina memang dipisahkan oleh ruang dan waktu. Antara kita dan anak-anak Palestina terbentang lautan dan daratan yang luas sekali. Tapi, sebetulnya kita punya rasa, kita punya cinta, dan kita punya luka yang sama dengan mereka.

Sobat, mereka siap menggelorakan semangat jihad untuk mengusir serdadu Israel yang telah merampok tanah mereka. Kita pun semestinya punya sikap seperti itu.

Ketika anak-anak Palestina meregang nyawa ditembus peluru Israel, sedang apakah kita? Main basket? Tidur nyenyak? Atau, malah sedang tawuran dengan teman sekolah lain? Ironis bukan?

Juga, ketika teman-teman kita menderita di pengungsian akibat diusir dari negeri mereka sendiri, kita sedang berbuat apa? Main game, pacaran, nonton konser musik, atau malah sedang asyik melahap makanan "bule" di resto kelas wahid dengan harga selangit? Lalu, di mana rasa peduli kita terhadap saudara sendiri?

Anakku, anak-anak Palestina sudah kenyang dengan segala penderitaan dan kekecewaan akibat ulah orang-orang Yahudi yang menggasak tanah mereka dan mengusirnya bak pesakitan. Sekali lagi itu adalah saudara kita. Saudara yang seharusnya "bersatu" dalam suka dan duka, dalam sedih dan gembira. Masihkah kita mengatakan bahwa itu adalah orang lain? Tidak, mereka adalah kita. Ya, kita. Bukan siapa-siapa dan bukan orang lain. Kaum muslim di Palestina, Uzbekistan, Tajikistan, Kashmir, Filipina, atau di negeri sendiri, Ambon, Aceh, dan yang lainnya, pokoknya seluruh kaum muslimin di penjuru dunia adalah saudara kita. Kita dipersatukan dan dipersaudarakan dengan Islam. Bukan dengan yang lain.

Kalo sekarang kita nggak merasa bahwa mereka adalah saudara kita, itu dikarenakan kita tersekat oleh dinding nasionalisme. Ya, itulah penyebab terbesar matinya rasa persaudaraan kia! Ternyata, ide nasionalisme telah membutakan mata kita. Sehingga, kita nggak bisa "menengok" saudara kita yang tengah menderita. Kita menjadi orang yang super cuek alias nggak mau peduli terhadap urusan saudara kita sendiri, padahal Rasulullah SAW telah mengibaratkan persaudaraan kita bak satu tubuh,

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling mencintai adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badannya merasa kesakitan, seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kumpulan Hadits Arba'in karya Imam Nawawi tertulis,

"Dari Abu Hamzah (yaitu) Anas bin Malik r.a. pelayan Rasulullah SAW, dari Nabi SAW, beliau bersabda, 'Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dua hadits tadi semestinya cukup memberikan "sentuhan" kepada kita bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya adalah ibarat satu tubuh. Kita bersaudara, sayang. Nggak mungkin dong, tangan kiri kita kejepit pintu, eh, tangan kanan malah nyukurin. 'Kan aneh, iya nggak? Nah, begitupun dengan saudara kita di Palestina. Mereka lagi menderita. Nggak waras dong kalo kita cuek bahkan nggak mau tahu banget. Kalau itu terjadi, itu namanya muslim "biadab". Jangan sampai deh nurani kita begitu bebal. Kita 'kan buka batu. Kita manusia yang memiliki perasaan. Rasa cinta, rasa sayang, dan "berjuta" rasa lainnya. Sebaiknya memang kita merenungkan kembali firman Allah SWT sekaligus meneladani Rasul-Nya,

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. Al-Fath: 29)

Kita harus peduli pada nasib saudara kita di belahan bumi manapun termasuk Palestina.

Jadi, bagaimana sekarang? Memang solusi untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Israel adalah dengan mengangkat senjata. Berarti pemecahannya adalah dengan jihad. Kamu perlu tahu bahwa jihad adalah fardhu 'ain bagi penduduk yang berada di daerah konflik (Palestina dan sekitarnya), sedangkan bagi yang jauh seperti kita yang di sini, "jatuhnya" adalah fardhu kifayah.

Dan perlu kamu tahu, Palestina barulah satu medan penderitaan, masih banyak "medan" yang lain. Ada Ambon yang begitu dekat dengan kita, lalu Moro di Filipina, Myanmar, Pattaya di Thailand, dan tragedi Kashmir yang belum juga selesai. Kepada mereka, kita curahkan perhatian dan segala bantuan yang kita mampu. Minimal, ya paling minimal adalah dengan mendoakan mereka supaya tetap kuat melawan musuh-musuh agama!


Tidak ada komentar: