Sabtu, 09 Februari 2008

Blog Baru Saya

Hai sobat, bapak, ibu, sodara-sodara, ikhwan dan akhawat....
kunjungi blog saya yang baru di www.taufik79.wordpress.com
Jangan lupa kasih saran dan comment yang konstruktif ya...
semoga kebersamaan kita tiada berakhir

Minggu, 20 Januari 2008

Regenerasi Ini di Tanganmu, Anakku!

Tuhanku,
binalah anak hamba
untuk menjadi seseorang yang cukup kuat untuk mengakui kelemahannya,
dan cukup berani untuk mengakui ketakutannya,
bangga dan tabah serta jujur dalam mengakui kekalahan,
rendah hati dan lemah lembut dalam kemenangan.

Binalah anak hamba menjadi seseorang yang mampu mewujudkan cita-citanya,
dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja;
seorang anak yang sadar bahwa mengenal Engkau dan mengenal dirinya sendiri,
adalah landasan segala pengetahuan.

Kumohon kepadaMu,
janganlah pimpin dia di jalan yang mudah dan enak,
namun berilah dia kesempatan untuk mengalami tekanan dan cobaan
di jalan yang penuh kesulitan dan tantangan.
Berilah dia kesempatan belajar
untuk tetap tegak dalam prahara,
dan welas asih kepada yang mengalami kegagalan.

Binalah anak hamba untuk berhati tulus,
dan bercita-cita tinggi;
seorang anak yang mampu memimpin dirinya sendiri,
sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain;
seorang anak yang memahami arti tawa ceria,
tanpa melupakan arti tangis duka;
seorang anak yang mampu memandang jauh ke masa depan,
namun tidak melupakan masa yang telah silam.

Dan bila semua ini telah menjadi miliknya,
aku mohon kepadaMu, tambahkanlah secercah kejenakaan,
supaya dia dapat bersungguh-sungguh,
dan juga dapat menikmati hidupnya.

Anugerahilah dia kerendahan hati dan kesederhanaan,
yang merupakan dasar keagungan yang sejati,
kesediaan untuk menerima kenyataan,
yang merupakan dasar kearifan yang sejati,
dan kelembutan yang merupakan dasar dari kekuatan yang sejati.

Dan akhirnya, jika semua itu telah terwujud,
hamba, ayahnya,
akan memberanikan diri untuk berbisik,
“hidup hamba tidaklah sia-sia.”

Sebuah Catatan Ringan bagi Orang Tua

"Anak-anak adalah sumber alam yang paling berbahagia."

(Herbert Hoover)

"Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga," kata sebuah peribahasa. Kita, para orang tua, tentu paham benar arti peribahasa tersebut. Perilaku anak berasal dari orang tuanya. Baik orang tua, baik pula anaknya. Buruk orang tua, buruk pula anaknya.

Dengan indah, peribahasa itu mengumpamakan orang tua sebagai atap, bagian paling atas dari rumah. Posisi yang memberikan perlindungan kepada seluruh anggota keluarga. Atap jugalah yang kemudian meneteskan air ke pelimbahan, yakni anak-anak kita. Dan, air adalah karakter yang diwariskan kepada anak-anak, meluncur deras sesuai sunnatullah dari atap menuju pelimbahan.

Ya, disadari atau tidak, tingkah laku dan kebiasaan kita, para orang tua, sebenarnya menjadi cerminan bagi anak-anak di rumah. Memang benar ada karakter yang diwariskan secara genetis kepada anak-anak, seperti yang diuraikan berbab-bab oleh para ahli biologi. Tetapi, sebenarnya jauh lebih banyak karakter yang diperoleh anak-anak dari hasil didikan kita.

Anak-anak belajar dari orang tua mereka dengan cara mendengarkan, mengamati, dan memikirkan tingkah laku orang tua. Kebiasaan ibunya membuatkan secangkir kopi bagi ayahnya, kebiasaan ayahnya berpamitan kepada ibunya pada saat berangkat ke tempat kerja, kebiasaan mereka berdua mencurahkan kasih sayang pada mereka, anak-anaknya, menjadi pelajaran-pelajaran yang lebih berkesan ketimbang duduk mendengarkan ceramah berjam-jam. Bahkan, kebiasaan "sepele" seperti jam berapa menyalakan televisi dan acara apa yang biasa kita saksikan, seluruhnya terekam baik dalam ingatan anak-anak.

Anak-anak adalah cermin bagi orang tua. Bagaimana orang tuanya, begitulah anaknya. Like father, like sons. Saat kita tatap matanya, amati bentuk hidungnya, cara berjalannya, dan gaya bicaranya, kita akan temukan diri kita pada anak-anak. Maka, bila kita tidak ingin dipermalukan di depan orang lain oleh tingkah polah anak-anak, berarti kita pun jangan berbuat hal yang memalukan di depan anak-anak kita sendiri.

Dorothy Law Nolte menuliskan sebuah puisi indah yang menceritakan hubungan pendidikan orang tua dengan pembentukan karakter anak-anak. Sengaja kami cuplikan sebagai bahan renungan kita bersama.

Anak-anak Belajar dari Kehidupannya

Jika anak dibesarkan dengan celaan,

ia belajar memaki.

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,

ia belajar berkelahi.

JIka anak dibesarkan dengan cemoohan,

ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,

ia belajar menyesali diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi,

ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan dorongan,

ia belajar percaya diri.

Jika anak dibesarkan dengan pujian,

ia belajar menghargai.

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan,

ia belajar keadilan.

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,

ia belajar menaruh kepercayaan.

Jika anak dibesarkan dengan dukungan,

ia belajar menyenangi dirinya.

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,

ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Bila anak tumbuh menjadi liar, keras, pendendam, dan tidak punya sikap penyayang, tentu tidak muncul begitu saja. Kitalah para orang tua yang merekayasa semuanya.

Tidak ada "horor" yang lebih menakutkan bagi anak-anak selain kehilangan kasih sayang. James Coleman, dalam Abnormal Psychology and Modern Life, menyebut kekurangan kasih sayang sebagai communicable disease "penyakit menular". Karena itu, Islam sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil 'alamin mewajibkan orang tua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya. "Orang yang paling baik di antara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya," kata Rasulullah SAW. Bahkan, Allah SWT berfirman,

"Bertakwalah kamu kepada Allah tempat kamu saling memohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga." (QS. An-Nisaa: 1)

Tidak ada tempat yang lebih aman bagi seorang anak selain di pelukan orang tuanya. Karena, anak-anak senantiasa membutuhkan kekuatan untuk bersandar, dada untuk menangis, dan contoh untuk belajar. Bila kita memberikan semua itu pada mereka, maka lebih dari sekadar perwujudan kasih sayang, tapi bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Ada sebuah riwayat menarik mengenai hal itu. Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita miskin datang menemui Aisyah r.a.. Aisyah berkata, "Ia membawa dua orang anak wanita. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, wanita itu tidak makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku wanita itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,

"Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbaik hati kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka." (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)

Selain itu, anak-anak juga memiliki hak untuk mendapatkan harta dan pendidikan. Tanpa keduanya, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang lemah.

Allah SWT berfirman,

"Hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah (iman, ilmu, dan amal), yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (QS. An-Nisaa: 9)

Bukanlah orang tua yang baik jika mereka meninggalkan anak-anak mereka dalam keadaan lemah iman, ilmu, dan harta. Anak-anak membutuhkan semuanya.

Suatu ketika, Luqmanul Hakim bercakap-cakap dengan anaknya,

"Wahai ayah, apa yang terbaik bagi manusia?"

"Agama," jawab Luqman.

"Kalau dua?"

"Agama dan harta."

"Kalau tiga?"

"Agama, harta, dan rasa malu."

"Bila empat?"

"Agama, harta, rasa malu, dan akhlak yang mulia."

"Jika lima?"

"Agama, harta, rasa malu, akhlak yang mulia, dan dermawan."

Anaknya bertanya lagi, "Jika enam?"

Luqman menjawab, "Anakku, jika yang lima itu berkumpul pada diri seorang hamba, dia adalah orang yang bertakwa. Allah akan menolong orang yang menjauhi setan."

Soundtrack Keluarga Cemara menyebutkan bahwa keluarga memang hal yang terindah. Keluarga adalah harta yang paling berharga, istana yang paling indah, puisi yang paling bermakna, dan mutiara tiada tara. Karena anak setara dengan mutiara, tegakah kita membenamkannya di kubangan lumpur dunia? Lagipula, anak yang saleh adalah satu dari tiga perkara yang dapat terus-menerus mengalirkan pahala kepada kita. Rasulullah SAW bersabda,

"Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya." (HR. Muslim)

Kita dan Anak-anak Palestina

Mohammad ad-Durra, bocah Palestina berusia 12 tahun, harus meregang nyawa ditembus peluru serdadu Yahudi Israel pada 30 September 2000 lalu saat terjadi bentrokan berdarah antara polisi Israel dan warga muslim Palestina di Netzarim, Jalur Gaza. Kalo kamu rajin baca berita, pasti bisa mendapatkan foto "eksklusif" yang diabadikan oleh dua wartawan Palestina yang bekerja untuk TV Prancis. Foto tersebut seolah "berbicara" dan menjelaskan bagaimana biadabnya serdadu Israel ketika membantai Mohammad ad-Durra yang berada dalam pelukan ayahnya.

Mohammad ad-Durra dan puluhan remaja seusianya harus rela kehilangan masa depan. Berjuta impian yang sudah dirajut harus punah dalam sekejap. Beribu harapan sirna dalam hitungan detik. Ya, itu adalah kenyataan yang memang pahit dan getir. Anakku, ini akan terus terjadi dan bakal terulang bila umat Islam cuma diam atau hanya mengutuk, tapi minus tindakan nyata. Jelas, itu akan membuat orang-orang Israel besar kepala dan akan merasa enteng melenyapkan nyawa orang-orang Palestina.

Republika melaporkan, sampai akhir Oktober 2000 sudah 300-an orang lebih yang tewas dan sekitar 1.000 lainnya luka-luka. Kamu akui atau tidak, mereka adalah saudara-saudara kita. Saudara seiman dan seakidah. Masihkah kita tidak peduli dengan nasib sesama muslimin?

Gagahnya Anak Palestina

Tidak kurang dari 300 anak Palestina berusia antara 5 hingga 8 tahun berkumpul di kantor Komite Palang Merah Internasional di Tyre, Lebanon Selatan. Mereka duduk di halaman itu sambil membawa sejumlah poster dan sepanduk kemarahan. Di antara spanduk itu bertuliskan, "Kami semua adalah saudara syuhada Mohammad ad-Durra." Lalu, dalam spanduk lain berbunyi, "Israel telah membantai anak-anak Palestina." (Republika, 5/10/2000).

Sementara, sebagian bocah lainnya yang berasal dari tiga tempat kamp pengungsi di Tyre itu membawa sejumlah plakat yang bisa menggelorakan semangatnya, "Berjuang dan angkat senjata, satu-satu jalan untuk membebaskan tanah Palestina." "Palestina bertanggung jawab terhadap semua yang ada pada kami," bunyi lainnya.

Anakku, dua hal yang bisa menganggap rintangan sebagai tantangan adalah semangat dan keberanian. Tentu keberanian yang berhasil dimunculkan dari akidah yang benar. Akidah Islam yang kuat dan bersih. Keberanian itu sekarang tumbuh pada anak-anak Palestina.

"Saya ingin membunuh orang-orang Israel seperti mereka membunuh saudara kami Mohammad ad-Durra," kata Mohammad Natour, 14 tahun. Heroik memang. Rekannya yang lain, Ihab al-Sadid (12 tahun), mengaku sangat kesal dengan aksi brutal tentara Israel yang menembaki anak-anak Palestina. Ia mengatakan, "Mereka membunuh anak-anak. Sebab, mereka takut kalau nanti besar, kami akan melawan mereka."

Tentu pikiran seperti itu nggak muncul begitu saja, tapi melalui proses. Siapa tahu, anak-anak dididik oleh orang tua mereka untuk menjadi pejuang Islam yang gagah berani. Masih nggak percaya? Coba kamu simak pernyataan Ridha Saleh, anak berumur 13 tahun, dengan mengenakan seragam militer dan meminta wartawan foto untuk mengambil gambarnya, ia mengatakan, "Saya juga ingin mati syahid dan hanya ingin mati di sana."

Palestina Tanah Kita

Palestina memang telah lama menjadi bagian tanah air kaum muslimin. Bahkan, Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat pertama sebelum dialihkan ke Ka'bah. Status Palestina sebagai milik umat Islam semakin kokoh melalui perjanjian yang dibuat Amirul Mukminin Umar ibnul-Khaththab dengan orang-orang Kristen Palestina. Saat itu, Khalifah Umar membuat perjanjian yang terkenal dengan nama al-Ihdat al-'Umariyyah 'perjanjian Umar', yang berbunyi, ".... atas nama Islam dan kaum muslimin.... Tidak boleh seorang Yahudi pun tinggal bersama kaum muslimin di Baitul Maqdis." (Ibnu Jarir ath-Thabrani, Tarikhul Umam wal-Muluk, pada judul "Iftitah Baitul Maqdis" 'Penaklukan Baitul Maqdis').

Setelah Khilafah Islamiyyah 'pemerintahan Islam' runtuh, orang-orang Yahudi seperti mendapat angin untuk kembali mendapatkan tanah Palestina. Dengan dukungan Inggris, Amerika, dan PBB, mereka mendirikan negara Israel Raya.

Bagaimana dengan Kita?

Kita dan anak-anak Palestina memang dipisahkan oleh ruang dan waktu. Antara kita dan anak-anak Palestina terbentang lautan dan daratan yang luas sekali. Tapi, sebetulnya kita punya rasa, kita punya cinta, dan kita punya luka yang sama dengan mereka.

Sobat, mereka siap menggelorakan semangat jihad untuk mengusir serdadu Israel yang telah merampok tanah mereka. Kita pun semestinya punya sikap seperti itu.

Ketika anak-anak Palestina meregang nyawa ditembus peluru Israel, sedang apakah kita? Main basket? Tidur nyenyak? Atau, malah sedang tawuran dengan teman sekolah lain? Ironis bukan?

Juga, ketika teman-teman kita menderita di pengungsian akibat diusir dari negeri mereka sendiri, kita sedang berbuat apa? Main game, pacaran, nonton konser musik, atau malah sedang asyik melahap makanan "bule" di resto kelas wahid dengan harga selangit? Lalu, di mana rasa peduli kita terhadap saudara sendiri?

Anakku, anak-anak Palestina sudah kenyang dengan segala penderitaan dan kekecewaan akibat ulah orang-orang Yahudi yang menggasak tanah mereka dan mengusirnya bak pesakitan. Sekali lagi itu adalah saudara kita. Saudara yang seharusnya "bersatu" dalam suka dan duka, dalam sedih dan gembira. Masihkah kita mengatakan bahwa itu adalah orang lain? Tidak, mereka adalah kita. Ya, kita. Bukan siapa-siapa dan bukan orang lain. Kaum muslim di Palestina, Uzbekistan, Tajikistan, Kashmir, Filipina, atau di negeri sendiri, Ambon, Aceh, dan yang lainnya, pokoknya seluruh kaum muslimin di penjuru dunia adalah saudara kita. Kita dipersatukan dan dipersaudarakan dengan Islam. Bukan dengan yang lain.

Kalo sekarang kita nggak merasa bahwa mereka adalah saudara kita, itu dikarenakan kita tersekat oleh dinding nasionalisme. Ya, itulah penyebab terbesar matinya rasa persaudaraan kia! Ternyata, ide nasionalisme telah membutakan mata kita. Sehingga, kita nggak bisa "menengok" saudara kita yang tengah menderita. Kita menjadi orang yang super cuek alias nggak mau peduli terhadap urusan saudara kita sendiri, padahal Rasulullah SAW telah mengibaratkan persaudaraan kita bak satu tubuh,

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling mencintai adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badannya merasa kesakitan, seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kumpulan Hadits Arba'in karya Imam Nawawi tertulis,

"Dari Abu Hamzah (yaitu) Anas bin Malik r.a. pelayan Rasulullah SAW, dari Nabi SAW, beliau bersabda, 'Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dua hadits tadi semestinya cukup memberikan "sentuhan" kepada kita bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya adalah ibarat satu tubuh. Kita bersaudara, sayang. Nggak mungkin dong, tangan kiri kita kejepit pintu, eh, tangan kanan malah nyukurin. 'Kan aneh, iya nggak? Nah, begitupun dengan saudara kita di Palestina. Mereka lagi menderita. Nggak waras dong kalo kita cuek bahkan nggak mau tahu banget. Kalau itu terjadi, itu namanya muslim "biadab". Jangan sampai deh nurani kita begitu bebal. Kita 'kan buka batu. Kita manusia yang memiliki perasaan. Rasa cinta, rasa sayang, dan "berjuta" rasa lainnya. Sebaiknya memang kita merenungkan kembali firman Allah SWT sekaligus meneladani Rasul-Nya,

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. Al-Fath: 29)

Kita harus peduli pada nasib saudara kita di belahan bumi manapun termasuk Palestina.

Jadi, bagaimana sekarang? Memang solusi untuk membebaskan Palestina dari cengkraman Israel adalah dengan mengangkat senjata. Berarti pemecahannya adalah dengan jihad. Kamu perlu tahu bahwa jihad adalah fardhu 'ain bagi penduduk yang berada di daerah konflik (Palestina dan sekitarnya), sedangkan bagi yang jauh seperti kita yang di sini, "jatuhnya" adalah fardhu kifayah.

Dan perlu kamu tahu, Palestina barulah satu medan penderitaan, masih banyak "medan" yang lain. Ada Ambon yang begitu dekat dengan kita, lalu Moro di Filipina, Myanmar, Pattaya di Thailand, dan tragedi Kashmir yang belum juga selesai. Kepada mereka, kita curahkan perhatian dan segala bantuan yang kita mampu. Minimal, ya paling minimal adalah dengan mendoakan mereka supaya tetap kuat melawan musuh-musuh agama!


Senin, 14 Januari 2008

Sebuah Ajakan


Adalah tanggung jawab setiap orang tua, ayah dan ibu, untuk "'mensurgakan" anak-anaknya. Kesadaran bahwa tugas utama "mensurgakan" anak adalah tugas kita sendiri, orang tua, akan memberikan pengaruh positif dan motivasi terciptanya lingkungan keluarga untuk lahirnya anak-anak yang cerdas.
Mencerdaskan anak tidak hanya berarti mensurgakannya di akhirat kelak, tetapi juga memberikan "aroma" surgawi di dunia ini, sekarang dan di sini!
Bila hal itu menjadi kepedulian dan harapan kita, mari bersama bergandeng tangan, menyelamatkan generasi masa depan!

Seandainya Bisa Membesarkan Ulang Anak Kita...

Seandainya saja saya bisa membesarkan ulang anak saya
saya akan lebih banyak bermain cat, dan mengurangi main perintah
saya akan lebih sedikit mengoreksi, dan lebih banyak mengait-ngaitkan
saya akan sedikit menghitung-hitung waktu, dan lebih banyak memperhatikan
saya akan mengurangi main selidik, dan lebih banyak memperhatikan
saya akan lebih sering berjalan-jalan, danlebih sering bermain layang-layang
saya akan mengurangi bersikap serius, dan lebih serius bermain-main
saya akan lebih sering bermain-main di lapangan, dan lebih banyak mengamati bintang bintang
saya akan lebih banyak memeluk, dan lebih sedikit membentak
saya akan tidak banyak melarang-larang, dan lebih banyak mengiyakan
saya akan lebih dulu membangun harga dirinya, sebelum membangun rumah
saya akan lebih sedikit mengajarkan cinta akan kekuatan, dan lebih banyak mengajarkan kekuatan cinta

(Author unknown)

Renungan Dua Tahun Pernikahan

Ketika kau lahir dulu itu, anakku
kami melihat dua bintang cemerlang di kedua bola matamu
O, anakku sayang
lalu aku dan ibumu pun saling memandang
mensyukuri nikmat yang tak tertahankan
ialah engkau
Anakku sayang

Bergantilah hari demi hari
engkau pun tumbuh
andai bunga, dikau mekar dan jelita
andai matahari, dikau gagah dan cerlang bercahaya
bagai pelangi, bagai bulan, bagai bintang, bagai hujan,
bagai gunung, bagai lautan ...
semesta ayat Tuhan bekerja dalam tubuhmu,
dalam inderamu, dalam jiwa ragamu,
dan kami suburkan hari ke hari dalam harapan
agar berimanlah engkau
bagai Khadijah, bagai Aisyah, bagai Asiah,
bagai Zulaikha, bagai Maryam, bagai Rabiah,
bagai Ibrahim, bagai Nuh, bagai Sulaiman,
bagai Musa, bagai Yusuf, bagai Isa,
beriman mereka hanya kepada Allah saja
bermakmum mereka hanya kepada Rasulullah
rasul pilihan-Nya

Maka di hari ini, Ananda
ketika keringat dan air mata membesarkanmu
telah menjadi ibadah di hari ini
ketika sesaat lagi kau akan hadapi sendiri
sejuk angin atau topan badai,
kemilau pagi atau gelap malam,
manis dan asamnya rasa kehidupan,
tak ada yang dapat kami katakan kecuali
"Ya Habibati, yaa habibi! Laa Tusyrik billah!

Ananda permata sayang,
Ridha Allah bukan pada banyak uang kalian kumpulkan
atau benda-benda kebutuhan yang selalu menggiurkan
bukan pada ketinggian pangkat atau derajat,
jabatan, apa pun namanya kemuliaan
dengan ukuran-ukuran keberhasilan yang dicanangkan orang

Demi Ia yang mencipta langit, bumi dan segala yang ada di antara keduanya
Keridhaan Allah itu ananda permata,
ada pada urusan kalian bersedia dan rela
patuh tunduk dan setia,
menjadi hamba sepenuhnya
ialah berTuhan hanya kepada-Nya!
menomersatukan Allah di atas segala urusan dunia!
Hingga genaplah zikir kalian
Ilahi anta maqsudi, wa ridhaka mathlubi.

(Renungan 2 tahun usia pernikahan, 15 Januari 2006, dan 9 bulan usia anak kami)
Thank to Nenno Warisman for inspiration...